1
Kimia hijau adalah pendekatan ilmu kimia yang menekankan desain proses dan produk yang efisien serta ramah lingkungan(Ahmar & Azzajjad, 2024). Salah satu gabungan prinsip yang sangat relevan adalah kombinasi antara pencegahan limbah, efisiensi atom (atom economy), dan penggunaan pelarut aman. Prinsip pencegahan limbah mengedepankan gagasan bahwa mencegah limbah sejak awal lebih baik daripada membersihkannya nanti. Menurut Anastas dan Warner (1998), merumuskan metode sintesis untuk memaksimalkan atom dan meminimalkan limbah merupakan inti dari pendekatan ini(Anastas & Eghbali, 2010).
Atom economy, diperkenalkan oleh Trost (1991), digunakan untuk menilai seberapa banyak atom dari bahan awal yang berhasil masuk ke produk akhir. Konsep ini menjadi alat penting dalam menilai efisiensi sumber daya. Sementara itu, pemilihan pelarut harus mempertimbangkan siklus hidupnya pelarut seperti air atau bioetanol, yang mudah terdegradasi dan aman, lebih disarankan dibanding pelarut tradisional beracun (Anastas & Warner, 1998).
Contoh nyata yang mudah dipahami siswa SMA adalah proses produksi biodiesel dari minyak goreng bekas. Dalam proses ini, minyak sisa rumah tangga diolah menjadi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi: hampir seluruh atom dari minyak dan alkohol diubah menjadi produk utama, sehingga efisiensi atomnya tinggi. Minyak bekas yang awalnya limbah kini dimanfaatkan kembali, sehingga limbah dapat dicegah sejak awal. Selain itu, penggunaan teknologi microwave-assisted untuk mempercepat reaksi telah terbukti meningkatkan efisiensi proses biodiesel sekaligus mengurangi konsumsi energi(Azzajjad et al., 2024). Dengan kombinasi ketiga prinsip ini, proses biodiesel tidak hanya menghasilkan bahan bakar terbarukan, tetapi juga menurunkan dampak lingkungan dan biaya pengolahan limbah.
Dengan memahami keterkaitan antara ketiga prinsip tersebut pencegahan limbah, atom economy, dan pelarut aman siswa dapat menyadari bahwa kimia hijau bukan sekadar teori melainkan solusi nyata dalam kehidupan. Proses yang dirancang dengan cerdas akan menciptakan produk yang berguna tanpa membahayakan lingkungan. Melalui contoh biodiesel seperti ini, siswa dapat melihat bagaimana ilmu kimia bisa berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan bumi sekaligus inovatif dan efisien.
2
Kimia hijau merupakan pendekatan ilmiah yang bertujuan mengembangkan proses dan produk kimia yang aman bagi manusia dan ramah lingkungan(Anastas & Eghbali, 2010). Di antara prinsip-prinsipnya, dua yang sangat penting dan saling mendukung adalah efisiensi energi dan penggunaan katalis. Kedua prinsip ini tidak hanya menjadi kunci dalam dunia industri, tetapi juga mudah diamati dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pembelajaran di sekolah.
Efisiensi energi mendorong agar reaksi kimia dilakukan dengan konsumsi energi yang minimal, idealnya pada suhu dan tekanan ruang. Ini penting karena sebagian besar energi yang digunakan dalam industri berasal dari bahan bakar fosil, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dan memperparah pemanasan global(Azzajjad et al., 2024). Dengan membuat reaksi berlangsung pada kondisi ringan, kita dapat menghemat energi sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
Salah satu cara mewujudkan efisiensi energi adalah melalui penggunaan katalis. Katalis mempercepat reaksi kimia tanpa ikut habis selama proses berlangsung. Zat ini bekerja dengan menurunkan energi aktivasi reaksi, sehingga reaksi bisa berjalan lebih cepat dan pada suhu lebih rendah. Sebagai contoh, reaksi penguraian hidrogen peroksida (Hâ‚‚Oâ‚‚) menjadi air dan oksigen dapat dipercepat dengan menambahkan ragi sebagai katalis alami yang mengandung enzim katalase (Eva Fadillah, 2022). Ketika reaksi ini dilakukan dalam sebuah botol dan leher botol ditutup dengan balon, gas oksigen yang terbentuk akan mengembangkan balon tanpa perlu pemanasan. Percobaan ini sederhana namun memberikan gambaran jelas tentang bagaimana katalis bekerja secara efisien.
Reaksi tersebut juga memberikan manfaat praktis yang luas. Hidrogen peroksida banyak digunakan dalam produk rumah tangga seperti cairan antiseptik, pembersih permukaan, dan pemurni udara. Pada produk-produk ini, prinsip penggunaan katalis dan efisiensi energi dimanfaatkan agar reaksi kimia berlangsung dengan cepat namun tetap aman digunakan (Santosa et al., 2024). Inilah bukti bahwa pemahaman ilmiah bisa diintegrasikan dalam teknologi yang kita gunakan sehari-hari.
Di sisi lain, eksperimen sederhana seperti ini juga dapat dikembangkan secara kreatif oleh siswa. Mereka bisa merancang alat sederhana dari bahan bekas, seperti botol plastik dan balon, untuk mengamati hasil reaksi dan mengukur gas yang dihasilkan. Selain itu, proses reaksi dapat divisualisasikan dalam bentuk gambar atau poster yang menggambarkan tahapan reaksi—dari penambahan katalis, munculnya gelembung gas, hingga balon mengembang. Melalui pendekatan ini, siswa tak hanya belajar sains, tetapi juga mengembangkan kreativitas mereka dalam menyampaikan informasi ilmiah.
3
Di banyak daerah, terutama di pedesaan, kulit singkong sering kali hanya dibuang atau dijadikan pakan ternak. Padahal, limbah organik ini menyimpan potensi besar untuk dimanfaatkan kembali menjadi bahan berguna, salah satunya adalah bioplastik. Melalui pendekatan kimia hijau, para peneliti berhasil mengubah kulit singkong menjadi plastik ramah lingkungan yang bisa terurai secara alami(Naomi Nova Mies & Awin Mulyati, 2025). Proses ini mencerminkan penerapan dua prinsip penting dalam kimia hijau: penggunaan bahan baku terbarukan dan pengurangan derivat dalam reaksi kimia.
Kulit singkong merupakan bahan baku terbarukan karena berasal dari tumbuhan yang bisa ditanam dan dipanen kembali. Tidak seperti plastik konvensional yang berasal dari minyak bumi sumber daya tak terbarukan yang memerlukan jutaan tahun untuk terbentuk kulit singkong bisa diperoleh dalam waktu singkat dan secara berkelanjutan. Penggunaan bahan ini tidak hanya mengurangi limbah rumah tangga, tapi juga mengurangi ketergantungan kita pada bahan kimia sintetis yang tidak ramah lingkungan(Rahmawati et al., 2023). Di sisi lain, proses pembuatan bioplastik dari kulit singkong dirancang dengan mengutamakan prinsip pengurangan derivat, yaitu menghindari penambahan senyawa pelindung atau zat kimia tambahan yang tidak diperlukan. Proses ini dibuat sesederhana mungkin agar hemat energi, minim limbah, dan aman bagi lingkungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Mulyani dkk. (2020) menunjukkan bahwa pati dari kulit singkong dapat dicampur dengan gliserol sebagai plasticizer untuk membentuk lembaran bioplastik yang fleksibel dan mudah terurai. Proses ini tidak melibatkan senyawa berbahaya dan tidak memerlukan banyak tahapan reaksi, sehingga sangat sesuai dengan prinsip kimia hijau(Santosa et al., 2024). Selain itu, penggunaan limbah kulit singkong juga memberi nilai ekonomi tambahan dan membuka peluang inovasi bagi masyarakat lokal. Dengan memanfaatkan limbah organik dan menyederhanakan proses kimia, kita tidak hanya menciptakan produk yang bermanfaat, tapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan. Inilah contoh nyata bagaimana ilmu kimia dapat memberikan solusi dari permasalahan sehari-hari.
4
Bayangkan kamu sedang mencuci tangan di rumah. Sabun yang kamu gunakan terasa lembut, wangi alami, dan kamu tahu bahwa setelah air sabun itu mengalir ke saluran pembuangan, ia tidak akan mencemari lingkungan(Nining et al., 2022). Inilah salah satu wujud nyata dari prinsip kimia hijau, yaitu membuat produk yang mudah terurai dan menggunakan proses sintesis yang tidak berbahaya.
Salah satu contohnya adalah sabun cair herbal berbahan dasar minyak kelapa dan ekstrak daun sirih. Produk ini dirancang agar dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme dalam tanah dan air. Tidak seperti sabun industri berbahan deterjen sintetis, sabun herbal ini tidak meninggalkan limbah beracun yang bisa mencemari sungai atau merusak biota air. Inilah penerapan prinsip Desain Produk yang Mudah Terurai(Anastas & Eghbali, 2010).
Selain itu, proses pembuatannya juga mengikuti prinsip kimia hijau Sintesis Kurang Berbahaya dan merancang bahan kimia yang lebih aman. Sabun ini dibuat melalui reaksi penyabunan sederhana antara minyak kelapa dan larutan basa, lalu ditambahkan ekstrak daun sirih sebagai antibakteri alami. Seluruh bahan yang digunakan aman bagi kulit manusia dan tidak memerlukan pelarut kimia beracun atau bahan tambahan sintetis. Proses ini bisa dilakukan di rumah atau laboratorium sekolah tanpa risiko bahan kimia berbahaya (Widyastuti, N., & Harjono, S., 2020).
Dengan sabun herbal ini, kita bisa melihat bagaimana dua prinsip kimia hijau berjalan beriringan: dari bahan baku alami yang aman, proses pembuatan yang bersih, hingga produk akhir yang tidak mencemari lingkungan. Bahkan siswa SMA bisa mencoba membuatnya sebagai bagian dari praktik kimia hijau di sekolahÂ
5
Dalam kegiatan laboratorium maupun industri kimia, keselamatan harus menjadi prioritas utama. Dua prinsip penting dari Kimia Hijau, yaitu Prinsip ke-11 (Pemantauan Real-Time) dan Prinsip ke-12 (Desain Kimia yang Lebih Aman untuk Mencegah Kecelakaan), memberikan panduan agar proses kimia berjalan aman, efisien, dan ramah lingkungan(Maulidiningsih et al., 2023). Pemantauan real-time berarti proses reaksi harus diamati secara langsung menggunakan alat bantu seperti sensor suhu, pH meter, atau detektor gas. Tujuannya adalah untuk segera mendeteksi kondisi berbahaya seperti kenaikan suhu mendadak atau pelepasan gas beracun. Sementara itu, desain kimia yang lebih aman mengarahkan ilmuwan dan siswa untuk memilih bahan kimia yang tidak mudah meledak, terbakar, atau menghasilkan produk samping berbahaya(Azzajjad et al., 2024).
Contoh penerapan kedua prinsip ini dapat dilihat dalam reaksi netralisasi antara asam kuat (HCl) dan basa kuat (NaOH). Reaksi ini bersifat eksotermis dan dapat menyebabkan suhu larutan meningkat tajam. Jika tidak dipantau, wadah kaca bisa pecah akibat pemuaian atau panas berlebih. Oleh karena itu, prinsip ke-11 dapat diterapkan dengan menggunakan termometer digital atau sensor suhu untuk mengamati laju kenaikan suhu. Prinsip ke-12 dapat dijalankan dengan mengencerkan larutan terlebih dahulu sebelum pencampuran, sehingga mengurangi risiko lonjakan suhu yang ekstrem (Wibowo, T., & Permana, A., 2021).
Dengan memahami dan menerapkan dua prinsip ini, siswa tidak hanya belajar tentang reaksi kimia, tetapi juga belajar berpikir kritis dan bertanggung jawab terhadap keselamatan diri dan lingkungan sekitar.